#YNWA! 18/19 Edition
"No, we've done it." - Divock Origi, after clinched the UCL title.
Saya sulit menggambarkan bagaimana musim ini. Sebuah momen rollercoaster terbaik dalam hidup saya mendukung Liverpool FC. Dimana harapan-harapan selalu diteriakkan di awal musim hanya untuk ditangisi pada ujung waktu. Kali ini tidak. Harapan itu bersambut dengan tangis memang, tapi tangis bahagia. Liverpool berhasil mengamankan satu-satunya juara. Sebuah juara yang luar biasa berharga. Sampai-sampai tidak sembarang yang bisa berdiri di panggung juara, walau sudah menguras uang berjuta-juta. Liverpool, dengan perjalanan begitu sulit beserta terbentang tantangan yang tidak masuk akal, berhasil keluar menjadi juara UEFA Champions League musim 2018/2019.
Pada awalnya, saya malah berharap pada gelar domestik saja ketika Liverpool dihajar Red Star Belgrade. Saya tahu atmosfir stadion mereka setara Anfield, tapi malam itu seperti bukan mental tim pemenang. Saya pada saat itu berharap Pak Jurgen Klopp memanfaatkan momentum tim yang sedang bagus-bagusnya. Juga menggunakan keadaan tim-tim rival lain sedang mengalami penurunan performa.
Tapi seperti biasa, takdir mengerjai Liverpool. Joe Gomez cedera. Tragedi satu sentimeter. Hasil imbang yang tidak perlu. Tiga peristiwa tersebut menurut saya membuat replika tropi dan segala pernak pernik juara yang di sediakan di Anfield tidak terpakai dengan cara paling sedih. Yah, dengan 97 poin, hanya sekali kalah, sudah bermain 'sekotor' mungkin, dan lain-lain, Liverpool urung berbahagia di pekan ke 38 karena yang juara liga adalah Manchester City. Kebetulan mereka juga yang menggondol semua gelar domestik.
Tapi siapa sangka, ada langit emas setelah badai yang meluluk lantakkan harapan. Persis seperti lirik 'You'll Never Walk Alone', athem yang sakral dan sakti itu. Bangkit dari kuburan bernisankan 3-0 di TPU Camp Nou, Liverpool ke'zombie'an dan memulangkan pemain terbaik di kolong langit bersama pemain pelengkap lain yang sama tidak bergunanya (termasuk Philippe C**tinho) untuk menikmati gelar Liga Spanyol yang begitu-begitu saja.
Seperti memang sudah kebiasaan untuk selalu against all odds, Liverpool kembali ke tanah suci yang sudah dijanjikan setelah tumbang begitu brutal tepat tahun lalu.
90 menit laga final yang dihujat membosankan dan minim inspirasi adalah sebuah titik balik. Sadio Mane, yang sepanjang musim 'gacor' bersama senjata baru bernama NB Furon, 'memenangkan' sebuah pinalti. Karena tidak ada James Milner disana, maka Mohamad Salah yang mengambil tendangan 12 pas.
Saya yakin, momen itu begitu emosional baginya. Karena pada tahun lalu, dia bahkan tidak bisa bermain penuh karena cedera parah yang tidak diakui oleh seorang bek medioker-yang-selalu-tertolong-patnernya-dan-strikernya. Saat itu, dia ingin melakukan apa yang harusnya dia lakukan tahun lalu. Mencetak gol dan membantu timnya juara. Maka dengan tendangan kaki kirnya yang walaupun bisa ditebak kiper Spurs, melaju begitu meyakinkan dan mengoyak jala begitu menyakitkan, hanya semenit beberapa detik setelah dibunyikan peluit tanda mulai pertandingan. Satu nol. Liverpool unggul.
Sepak bola adalah permainan tim. Saya yakin itu dan akan selalu begitu. Karena itu, gol atau momen penyelamat bisa datang dari siapa saja. Seperti gol penyama kedudukan Daniel Sturridge ketika melawan Chelsea atau gol pembuka melawan Yang Maha Lawak Dahsyat, Paris Saint Germain. Mantan striker paling menyeramkan se Inggris yang sampai waktu itu lebih banyak akrab dengan ruang perawatan ketimbang hijaunya lapangan itu menjadi inspirasi setelah begitu banyak momen yang menyedihkan dia lewati.
Dan ketika dia kembali ke momen menyedihkan yang tak terelakkan itu, Liverpool tidak kehilangan pemain yang hobi mencetak gol karena 'turun dari langit'. Derby Merseyside adalah saksi bisu dari kiprah pemain yang lebih menyedihkan dari Daniel Sturridge.
Tendangan tidak terarah Van Dijk menyasar tiang gawang Everton yang dijaga Jordan Picford, kiper yang sama yang menertawai Alisson karena blundernya melawan Leicester. Niatnya ingin melompat dan menangkap bola yang sekilas gampang. Tapi, bola malah membentur tiang dan memantuk kembali ke lapangan. Dia terkejut, namun sudah terlanjur melompat. Dia akan kehilangan momentum kalau menunggu kakinya menjejak kembali ke tanah. Dan timnya akan kebobolan gol paling konyol dalam sejarah sepak bola, disaat mereka menampilkan penampilan terbaik melawan tetangga yang hobinya melantangkan sembohyan 'next year is our year'.
Disaat yang bersamaan, disitulah dia. Seorang yang digambarkan sebuah akun fanbase Liverpool adalah pemain dengan rambut mirip pel yang usang, yang kalau ada pertandingan persahabatan melawan Tranmere Rovers, dia akan diturunkan pada menit ke 90. Tapi, ketika kalah melawan Red Star Belgrade, dia diturunkan Klopp. Saat itu saya yakin betul kalau pendukung Red Star Belgrade memakai jasa dukun. Dia disitu di momen bola kembali memantul. Momen dimana kiper sudah kehilangan momentum untuk melakukan apa-apa dan bek lawan juga tidak mengejar karena mengira bola akan keluar atau ditangkap Pickford. Tapi tidak, dia disitu dan dengan gerakan kepala yang ringan, memantulkan bola untuk mencetak gol paling indah dan jelek sepanjang sejarah Liverpool.
Anfield meledak. Semuanya larut dalam perayaan yang gegap gempita. Bahkan Klopp berlari kegirangan lalu masuk lapangan dan memeluk Alisson. Saat itulah, sang anak hilang, wonderkid terlupakan dari Belgia dan pencetak gol termuda di Piala Dunia bagi Belgia, Divock Okoth Origi, kembali.
Siapa sangka dia masih 'moncer' di beberapa pertandingan selanjutnya. Termasuk ketika semifinal leg kedua dengan defisit tiga gol. Dia melesakkan dua gol, gol pembuka dan gol penentu kemenangan. Memulangkan Lionel Messi dan kroco Barcelonanya. Membuat dia terpaksa mengingkari janji untuk membawa trofi kuping besar kembali ke Barcelona dihadapan pendukung.
Tidak sampai situ. Ditengah final yang sudah hampir membuat pendukung Liverpool lepas jantungnya karena berulang kali diserang Spurs dan masih butuh 'sesuatu' yang lebih sebelum tembok kokoh Meryseyside runtuh, dia menjadi penyelamat. Sebuah sepakan datar yang begitu tenang dan dingin menghujam jala Spurs untuk yang kedua kali malam itu. Sekaligus menyegel gelar juara Champions League untuk Liverpool setelah tidak tahun diempu oleh Real Madrid.
Sebuah penantian panjang. Baik bagi Liverpool sendiri, baik bagi Jurgen Klopp, baik bagi Henderson dan Sturridge. Ketiga ententitas tadi adalah yang sudah pernah dekat dengan trofi bagai pembulu nadi lalu terbang begitu saja. Jurgen Klopp ada pesakitan di final-final besar. Berhasil membawa Liverpool ke final League Cup dan UEL hanya untuk kalah dengan menyakitkan. Hendo dan Stu adalah yang tersisa dari musim legendari 2013/2014 yang seharusnya bisa 'buka puasa' namun publik sepak bola sudah tahu bagaimana akhirnya. Dan Liverpool sendiri sebagai organisasi sepak bola, mengangkat tropi bersama Gerrand dan Daglish pada 2012 lalu tiada yang datang lagi ke lemari setelah itu. Dan bagaimana tahun lalu kalah dengan cara yang begitu menyakitkan.
Jordan Henderson pada akhirnya memegang piala seperti Gerrard. Alisson yang berasa sangat murah sekali dengan performa luar biasa. Virgil Van Dijk tidak bisa dibantah lagi sebagai bek jempolan kualitas dunia, begitupun juga dengan kompatriotnya Joel Matip. Begitu juga dengan Andrew Robertson dan Trent Alexander-Arnold dengan gelontoran asisnya yang luar biasa di usianya yang begitu muda. Fabinho bisa bernafas lega karena benar-benar menunaikan baktinya setelah pada awalnya hanya banyak termenung di pinggir lapangan. Gini Wijnaldum, sang unsung hero Liverpool dengan segala daya usahanya untuk membantu klub berjaya. Roberto Firminho, penyerang lubang underrated yang membuktikan orang sepertinya juga bisa mengangkat piala. Sadio Mane yang 'moncer' dan 'gacor' sepanjang musim akhirnya tersenyum lebar dan mencuri kesempatan mengelus piala pertama kali. Mo Salah semakin menahbiskan dirinya sebagai pemain kelas dunia. Divock Origi dengan big games golnya. Daniel Sturridge dan gol pembuka perjalanan ini. Simon Mignolet yang tidak henti-hentinya memberi dukungan luring dan daring. Pak Tua James Milner dengan energinya berlimpah. Xherdan Shaqiri sang supersub yang menambah satu lagi gelar juara UCL. Dejan Lovren yang akhirnya menjadi juara satu. Alex Oxlade-Chamberlain jadi juara setelah absen setahun kurang. Dan yang lainnya yang bahkan minim kontribusi. Semua turut ambil bagian dalam perjalanan ini. Yang pernah bermain ataupun yang tidak bermain. Semua berhak mengangkat piala atas hasil jerih payah semua. Semuanya juara. Semuanya pemenang.
Maka karena itu, ayo rayakan. Mari bergembira dengan raihan ini. Sebuah gelar juara yang bukan sebarang juara. Mari larut dalam euforia. Hiraukan saja mereka yang mencela. Karena ini, adalah tentang kita. Momen kita. Saatnya kita nikmati sekarang juga.
Selamat telah menjadi juara. Dan selamat hari jadi yang ke 127.
Jangan pernah berhenti memberikan pengalaman sepak bola paling indah sedunia bagi kami, pendukung dan pecandumu, Liverpool.
We've conquered all of Europe
We're never gonna stop
From Paris down to Madrid
We've won the fucking lot
From Bob Paisley now Jurgen Klopp
The fields of Anfiel Road
We're loyal supporters
And we've come from Liverpool
Allez, allez, allez
Allez, allez, allez
Allez, allez, allez
Allez, allez, allez
All photos from LFCSnapped as usual. But RIP, the account suspended few weeks ago. :(
Comments
Post a Comment