Saya, Guardiola dan Manchester CIty

Josep Guardiola dan Manchester City adalah dua hal yang mengubah tatanan sepakbola di awal 2010an lalu. Sebenarnya, Pep sudah melakukannya beberapa tahun sebelum 2010. Tapi mari kita samakan sajalah.

Satu pihak waktu itu terkenal sebagai pelatih dengan metode bermain canggih, taktis, modern dan indah. Dengan ide dasar Juego de Posicion, beliau mengubah muka FC Barcelona yang tadinya biasa-biasa saja, menjadi tim yang bisa melumat semua gelar yang bisa didapatkan dalam satu tahun. Bukan hanya itu. Banyak pemain-pemain muda yang dipromosikan beliau dari tim B yang sebelumnya beliau asuh, macam Busquets dan Pedro. Juga dengan ringan kaki, beliau menendang Deco dan Ronaldinho, kemudian mendidik seorang anak ingusan dengan sepenuh hati yang nantinya menjadi manusia setengah alien.

Di lain tempat, jika berbicara Manchester, maka yang selalu teringat adalah Manchester United. Tak pernah ada yang tahu apa, siapa, dan bagaimana itu Manchester City sampai terjadi revolusi. Tahap pertama oleh PM Thailand Thaksin Sinawatra yang membawa Robinho dari Real Madrid. Langkah tersebut masih belum apa-apa karena prestasi yang belum menghampiri. Lalu datang saudagar minyak dari Timur Tengah, Sheikh Mansour, membawa berkoper-koper uang untuk mendanai klub semenjana itu menjadi kekuatan yang menjanjikan di Britania Raya. Bukan hanya pemain bintang yang direkrut, staff-staff berpengalaman dari klub-klub terkemuka di daratan Eropa dan pelatih yang sudah banyak makan asam garam dari berbagai liga. Mereka ingin menjadi kekuatan baru dengan berkarung-karung fulus.

Sampai musim panas yang lalu, saya tidak percaya kalau kedua hal ini ternyata bisa bersatu-padu dan saling melengkapi satu sama lain. Ya, Pep Guardiola menjadi pelatih Manchester City sejak musim panas 2016.

Sebelumnya, Pep Guardiola baru menikmati musim penuh dominasi di Jerman sana. Bayern Munchen yang sebelumnya sudah kuat, berhasil disulap menjadi kelewat kuat. Bukan hanya juara, tapi juara dengan waktu yang lebih cepat dan gap poin yang terlalu banyak. Walau begitu, ada sedikit pergeseran filosofi terjadi. Yang biasanya beliau percaya dengan pemain muda, kali ini hanya Joshua Kimmich yang menjadi peninggalannya di tanah Bavaria. Di lain hal, Tim Nasional Jerman menikmati tuah Guardiola di Allianz Arena. Karena sebagian punggawa Jerman berasal dari Muenchen dan menjadi juara dunia di tahun 2014. Sama seperti Spanyol yang juara pada 2010 lalu yang kebanyakan berasal dari Barcelona. Tapi di saat itu pula ada cela yang membuat Pep belum semengerikan di Barcelona. Muenchen belum pernah mengangkat si kuping besar selama diasuh Guardiola.

Di lain sisi pada waktu yang sama, Manchester City sudah menjadi kekuatan baru, bukan hanya di Manchester, tapi juga di Inggris. The Citizens menggoyang tatanan Big Four Liga Inggris, menendang -hah...- Liverpool dari tempat itu. Dua kali juara liga dan berbagai piala domestik, menunjukkan mereka benar-benar ingin menjadi "Chelsea 2.0." pada saat itu. Dengan duit minyak yang belum habis, mereka seenak jidat menawar pemain klub lain dan memboyongnya ke sisi biru Manchester. Banyak pemain tergoda dan pindah dengan iming-iming gelar dan kejayaan. Langganan City pada saat itu adalah klub sangat tangguh dari Kecamatan London Utara. Pelatih mereka, Kakek Kepala Batu dari Prancispun sering geleng kepala ketika sewaktu-waktu skuadnya menipis karena badai cedera yang menjadi agenda rutin tiap musim. Yang pada akhirnya memaksa beliau memainkan duet maut dunia akhirat, Marouane Chamakh dan Nicklas Bendtner. Sama dengan narasi Guardiola, Manchester Biru Langit pun belum sempat menyicip rasanya trofi Liga Champions Eropa.

Dan ketika keduanya pada musim panas dua tahun lalu sepakat bersatu padu di altar Etihad Stadium atas nama sepak bola, maka publik saat itu yakin seyakin-yakinnya, duet keduanya akan mendominasi sepak bola Inggris secara hakiki. Manchester CIty diprediksi akan melaju kencang dan menjuarai semua gelar yang ada termasuk Liga Inggris, Piala FA, Piala Kerbo, UCL, Club World Cup, Super Cup, British Got Talent,  Indonesian Idol dan D'Academy Asia.

Hal itu terjadi memang, tapi dimusim kedua. Dimusim pertama, Pep dan City kepayahan. Hampir keluar dari empat besar, dicomeback  Monaco, dibobol 4 gol tanpa balas oleh Lukaku dan Everton, membeli kiper yang tidak jauh bedanya dengan Joe Hart, dan untuk pertama kalinya dalam karir kepelatihannya, musim pertamanya di City berakhir dengan nirgelar, nol bulat, seperti kepalanya. Dan karena itu, banyak suara-suara sumbang (terutama dari tetangganya) yang berkata bahwa si botak dari Catalan tidak akan pernah mudah menguasai Britania Raya. Menurut saya pernyataan itu salah besar. Karena orang macam Ranieri dan Vardy bisa, kenapa Guardiola tidak?

Berbekal dari pengalaman itu, Pep belajar banyak. lalu berbelanja banyak. Anggaran belanja Manchester City (yang utamanya dialokasikan untuk pertahanan) menjadi bengkak. Dan apakah hal itu memberikan dampak yang signifikan? Jawabannya, ya.

Mereka sudah menginjak pedal gas dalam-dalam dan melibas semua lawan yang ada didepan mata sejak pekan perdana. Dengan cara yang sama seperti di Barcelona dan Muenchen, Guardiola benar-benar menguasai Inggris. Bahkan pernah membuat juara sebelumnya hanya berdiri lesu dan termenung melihat De Bruyne dan kolega memainkan bola dengan dalih tidak ingin gawangnya dijebol kebanyakan oleh mereka. Celah Guardiola musim ini hanya Liverpool FC, Will Grigg, dan (lagi-lagi) UCL. Selebihnya, mereka melakukan hal yang mengagumkan, meski harus "membeli" hal itu.

Jujur saja, sebelum saya sepenuh hati mendukung Liverpool, saya sempat mendukung City selama semusim. Karena muak melihat kemediokeran Liverpool dibawah Pak Tua Roy Hogdson. Pada saat itu, saya sedikit banyak terkesan dengan mereka. Banyak yang mengatakan bahwa fans City karbitan semua, tapi saya mengenal orang yang sudah mendukung Manchester City dengan segala kemediokerannya tanpa mencoba selingkuh dengan setan tetangga. Orang itu adalah Gallagher bersaudara, yang lagu dari band-nya dijadikan salah satu anthem di Etihad. Bagi saya, menyanyikan Don't Look Back in Anger bersama suporter City sama merindingnya dengan menyanyikan You'll Never Walk Alone bersama Kopites di The Kop Stand. Walau sempat dendam kesumat karena City menculik Sterling, tapi yasudahlah. Itu bocah juga gak pernah bener kalau main di Anfield.

Jadi, selamat telah menjadi juara, Manchester City. Maafkan Kopites yang terlalu bersemangat sehingga melempari bus kalian ketika awayday ke Anfield. Tapi itu belum apa-apa sebenarnya. Kalian belum pernah ke Indonesia kan? Disana, jangankan dilempari, dibakarpun pernah. Dan, kalau sudah bosan sama Sterling, silahkan tendang balik bocah itu ke Anfield. Kalau saya  masih dengan tangan terbuka menerima bocah mata duitan itu kembali ke tempat yang melambungkan namanya.

Don't look back in anger, 'cause you'll never walk alone.


Throwback ;)
Image Source

Comments

Popular Posts