Motivasi Tolol
Jadi, dalam perjalanan saya
mencari hidayah pada posting sebelumnya membuat saya terdampar dengan sengaja
di sebuah madrasah di (sepertinya pinggiran) Bogor. Di madrasah kecil ini, saya
diberdayakan jadi apa saja. Namun, yang utama dan paling utama adalah menjadi tim Qurban
ketika Idul Adha dan guru Bahasa Inggris.
Tidak ada yang masalah dalam
jobdesc yang pertama. Yang masalah adalah yang kedua. Karena, saya bukan tipe
yang gampang mengayomi orang lain. Jangankan orang lain, ketika adik kandung
saya sendiri curhat, kadang-kadang saya bingung untuk menjawab apa. Saya
bertahun-tahun belakangan ini terbiasa dengan slogan “deal your mess by
yourself.” Jadi, ketika seseorang sedang bermasalah, saya tidak terbiasa membantunya
memecahkan masalah itu. Atau paling-paling menepuk punggungnya dan mengatakan
“sabar ya.”, khas orang Indonesia.
Sebenarnya tahun lalu saya sudah
melakukan hal yang sama. Bedanya, tahun lalu hanya seminggu. Tahun ini, tiga
minggu lamanya. Dan ketika dulu yang saya hadapi adalah siswa SMP, kali ini yang
saya hadapi adalah siswa kelas 2 SMA. Kalau saya mengingat lagi kebelakang,
kelas 2 SMA adalah puncak “kegilaan” seorang siswa SMA. Walau saya mahasiswa
semester 7, saya keder dengan fakta tersebut. Membayangkan mereka pandang
enteng dengan guru pamong. Biarpun badan saya besar dan gempal ditambah dengan
tatapan yang tidak ramah, tidak ada yang langsung terintimidasi dengan saya
pada pandangan pertama. (Jadi mengerti kan Pak Presiden?) Tidak juga saya
memakai kekerasan untuk membereskan hal-hal yang nantinya diluar kendali nanti.
Biarpun saya didapuk menjadi guru, itu bukan yang harusnya dilakukan seorang
pendidik, sekeras apapun muridnya.
Jadi dengan modal nekat dan
tekad, saya masuk saja ke kelas pertama, Kelas 2 SMA jurusan Bahasa. Syukurlah,
kelas ini lumayan tentram. Walau ada yang ogah-ogahan, tapi tidak mengganggu
temannya yang disamping kiri-kanan. Berbeda dengan kelas selanjutnya, jurusan
IPA yang lumayan ribut. Ada persamaan dengan dua kelas ini. Kemampuan Bahasa
Inggris mereka kurang untuk level siswa SMA kelas 2. Bahkan ada yang membaca
“die” itu benar-benar die, bukan dai. Sekolah di Jawa ternyata bukan jaminan
untuk mendapatkan peradaban yang lumayan modern.
Karena itu, saya bolak balik
membetulkan bacaan mereka. Dna pada akhir jam saya, saya mulai memotivasi
mereka. Bagaimana mereka semua seharusnya sudah bisa Bahasa Inggris level
percakapan sehari-hari dengan lancar. Karena, dunia sudah terbuka dan ada yang
namanya globalisasi. Dan tentunya bahasa yang dipakai adalah Bahasa Inggris,
bukan liga aing kumaha aing. Saya bercerita
kalau dulu saya lumayan rajin menghapal vocabulary dengan trik mencatat dan
mencari arti kata-kata yang sulit, menonton film dengan subtitle Bahasa
Inggris, dan kalau lagi ngawur ngajak teman sejawat saya ngobrol pake’ Bahasa
Inggris. Dengan motivasi sederhana itu, saya tentu mengharapkan mereka bisa
lebih baik. Minimal levelnya bisa menaklukkan soal UTS mereka mendatang. Dan
mereka juga kelihatannya manggut-manggut senang dan (mudah-mudahan) mengerti.
Setelah itu, saya sadar ada
tindakan konyol yang saya lalukan. Saya memotivasi orang, banyak lagi.
Holy sh*t…
Saya teringat kembali ke tiga
bulan sebelum ini. Ketika saya diujung semester 6, saya kehilangan motivasi
untuk kuliah. Saya benar-benar bingung karena apa waktu itu. Karena kehilangan
motivasi itu, saya luar biasa uring-uringan ketika kuliah. Dan hasilnya,
sungguh bagai kena kombo Xiaoyunya Tanukana atau Guilenya Daigo The Beast pas di
Final Abuget Cup. Sakit mampus. IP semester enam dengan sukses ancur lebur. 5
Semester baik-baik saya, nyaris ancur di semester 3, kali ini saya tidak lolos
tiga semester berikutnya.
Dan baru semalam, saya memotivasi
anak orang untuk belajar lebih rajin, terutama belajar Bahasa Inggris.
Hahaha….
Ironis, ah.
Mudah-mudahan yang saya motivasiin
berguna buat mereka.
Dan saya juga sepertinya harus
mencari motivasi sendiri agar tidak lulus lebih dari delapan semester atau saya
dicoret dari kartu keluarga.
Comments
Post a Comment