Kompilasi 7 Hari Tantangan Menulis Basabasi dan Kampus Fiksi
#1
Laki-laki tulen, jelas. Berbadan sedikit agak melebihi timbangan orang kurus. Menggunakan kacamata yang terkadang suka melorot tanpa aba-aba. Dikala sendirian, tidak akan melepaskan earphone dari kupingnya. Bukan apa-apa, hanya terkadang tidak suka mendengar sesuatu yang tidak ingin didengar. Tidak akan bicara, sebelum dua hal. Diajak terlebih dulu, atau ada sesuatu yang menarik yang membuat mulut sendiri bergerak lebih dulu ketimbang otak. Akan menatapmu dengan tatapan yang kata orang-orang tidak ramah. Tapi, begitu sudah berkenalan, paling tidak akan berusaha melontarkan lelucon yang kadang tidak lucu. Belakangan ini lebih sering menggunakan logika ketimbang perasaan, walau masih sering kecolongan juga. Dan belakangan ini juga, mengusahakan selalu tersenyum untuk menumpuk pahala kecil dari itu, mumpung bulan puasa.
Laki-laki tulen, jelas. Berbadan sedikit agak melebihi timbangan orang kurus. Menggunakan kacamata yang terkadang suka melorot tanpa aba-aba. Dikala sendirian, tidak akan melepaskan earphone dari kupingnya. Bukan apa-apa, hanya terkadang tidak suka mendengar sesuatu yang tidak ingin didengar. Tidak akan bicara, sebelum dua hal. Diajak terlebih dulu, atau ada sesuatu yang menarik yang membuat mulut sendiri bergerak lebih dulu ketimbang otak. Akan menatapmu dengan tatapan yang kata orang-orang tidak ramah. Tapi, begitu sudah berkenalan, paling tidak akan berusaha melontarkan lelucon yang kadang tidak lucu. Belakangan ini lebih sering menggunakan logika ketimbang perasaan, walau masih sering kecolongan juga. Dan belakangan ini juga, mengusahakan selalu tersenyum untuk menumpuk pahala kecil dari itu, mumpung bulan puasa.
Itu saja sih, karena orang lebih diingat secara fisik, perasaan, dan tingkah laku ketimbang nama. Kalau tidak percaya, tanya saja mereka, Miyamizu Mitsuha dan Tachibana Taki.
#2
Tapi, kalau diberikan kesempatan memelihara binatang, apapun itu, sepertinya asyik juga. Misalnya kalau memelihara singa, asalkan bisa dijinakkan, kelihatannya asoy jalan-jalan sore keliling komplek bersama si Leon, eh Lion. Mmm... Enggak asoy juga sih. Yang tadinya pengen dipuja-puji tetangga karena bawa-bawa singa, yang ada para tetangga pada ketakutan masuk rumah. Dan ada yang keluar lagi sambil bawa-bawa bedil malah. Terus Pak RW datang bawa polisi. Aku diseret dari kamar mandi. Tanpa handuk, tanpa baju...
Ini kenapa jadi nyanyi yak...?
Jadi, sepertinya untuk yang pertama, saya pertama ingin memelihara kucing saja.
Alasannya sih sederhana. Karena si meong tidak ribet untuk diurus. Kesampingkan dulu kalau kucingnya kucing persia yang mahal gila. Yang kadang makan seharinya saja lebih mahal dari majikannya. Mana mau saya. Jangan gara-gara si meong, duit saya kering lebih cepat dari tanggal tua. Kan gak mungkin saya makan makanan si meong. Belum lagi bakal dicakar kalau ketahuan...
Jadi, sekedar kucing biasa saja. Yang tidak ribet mengurusnya. Hanya butuh diberi makan, diajak bermain, diajarkan cara buang air yang benar agar pekarangan tidak banyak "ranjau mini". Bahkan, kalau lupa diberi makan, dia akan mencari sendiri. Atau paling tidak mengingatkan kita dengan mengeong. Kalau masih tidak sadar, mungkin akan mengelus dan menjilat kaki kita. Kalau masih belum sadar, dia akan melakukan aksi brutal dengan menggigit atau mencakar.
Tapi, percayalah. Kalaupun si meong jadi merepotkan, hobi mencakari sofa atau bahkan majikannya, mencuri ikan kalau sedang lengah, dan menebar "ranjau mini" dimana-mana, semuanya akan terbayar ketika dia sudah bermanja-manja dengan kita. Mengelus-elus dengan bulu-bulunya yang lembut, menjilati kita dengan sayang, dan mendengkur di pangkuan tanda dia senang.
Untuk yang hewan yang kedua adalah kucing.
Kemudian, yang ketiga adalah kucing.
Dan hewan yang keempat adalah kucing.
Yang terakhir, tentu saja kucing.
Serius, buat apa memelihara hewan peliharaan yang lain kalau sudah punya si meong yang menggemaskan?
Kucing yang ini kaya'nya boleh juga... |
#3
Bicara tentang kehilangan, berarti bicara tentang sesuatu yang sudah tidak ada. Sekaligus, kehilangan berarti bicara tentang masa lalu.
Ada banyak kehilangan-kehilangan yang saya alami. Mulai dari yang remeh macam kehilangan uang jajan ketika SD yang membuat saya terpaksa menahan lapar sepanjang waktu istirahat. Untung saja, kadang-kadang ketika berjalan gontai, saya menemukan uang entah siapa. Tadinya saya merasa kasihan kepada pemilik uang ini. Mungkin, tadi dia berencana untuk jajan karena tidak sempat sarapan. Mungkin juga tadi dia ingin membeli pulpen, karena tinta pulpennya sudah habis. Tadinya begitu, sampai perut saya berisik sejurus kemudian. Tanpa pikir panjang lagi, saya mengambil uang itu, melenggang ke kantin, dan mendoakan yang kehilangan tadi agar menemukan uang dari orang yang sedang kehilangan juga. Dan orang yang kehilangan tadi mudah-mudahan menemukan uang juga dari orang yang sedang kehilangan yang lainnya. Begitu seterusnya. Sampai Linkin Pak membuat album duet bersama Panbers.
Dari yang kehilangan yang remeh itu, saya juga sering mengalami kehilangan yang lumayan berbobot. Kehilangan ponsel, kehilangan tugas sekolah, kehilangan kepercayaan diri dan lain-lain yang masih mirp-mirip tingkatannya.
Selain itu juga, ada kehilangan yang benar-benar luar biasa berat. Dua kali kehilangan seseorang yang saya menaruh perhatian kepadanya. Yang pertama kehilangan dalam arti sebenarnya, dia memang hilang dari dunia ini. Dan yang kedua, dia hilang dan memberi luka yang tidak sembuh-sembuh sampai sekarang.
Sebenarnya tolol benar saya masih tidak bisa sembuh dari kehilangan itu. Banyak teman, sahabat, handai taulan, tukang becak langganan, sampai tukang pangkas DPR (Dibawah Pohon Rindang) menyarankan agar cepat melupakan dia agar tak merasakan lagi kehilangan itu. Tentu mustahil untuk melupakan seseorang yang sudah mengukir luka di tulang sumsum ini. Sampai mati, mungkin dia akan tetap teringat.
Kehilangan ini juga yang membuat saya kehilangan banyak hal lagi.
Yang membentuk saya menjadi pribadi yang punya pandangan pesimistis terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan "jodoh".
Dan sampai tulisan ini dibuat, saya masih tidak tahu bagaimana cara mengatasi kehilangan ini.
Mudah-mudahan saya tidak akan serong. Karena saya masih deg-degan melihat Rena Takeda.
Tembak saya, Mbak Rena~ |
#4
Menceritakan satu kejadian memalukan adalah sebuah keberanian. Jelas, karena itu membuka aib sendiri, terlebih lagi ketika kejadian itu sudah sangat lama. Yang tadinya sudah ingin dilupakan, karena ikut tantangan menulis ini terpaksa diingat. Dan mengingatnya membuat kita jadi malu sendiri, tertawa karena betapa bodohnya dulu, atau tidak jadi menuliskannya kemudian memilih yang lain sangkin memalukannya.
Syukurlah, saya mempunyai suatu kejadian yang memalukan. Tapi, menurut saya itu tidak memalukan... paling tidak sebelum saya bertemu teman-teman yang menjadi saksi mata saat itu. Yang sialnya kebetulan masih hidup semua. Dan tahu cerita ini lumayan memalukan.
Tapi, yasudahlah, Hitung-hitung berbagi cerita.
Jadi, dulu ketika kita semua masih SD, pasti pernah diimunisasi. Karena tubuh seorang bocah SD masih rentan terhadap penyakit apapun, jadilah sekolah pasti selalu mengadakan acara imunisasi bagi murid-muridnya,
Saya tidak suka disuntik. Sejak sebelum masuk SD malah.
Suster selalu mengatakan kata-kata seperti "Enggak sakit, kok.", atau "Kaya' digigit semut kok." untuk membuat kita tidak takut dengan jarum suntik dan mau disuntik. Nah, karena kata-kata itu, hampir semua dari kita terbuai ketika pertama kali. Dan ketika ujung jarum itu sudah ditusuk, maka...
AAAHHH!!!!!
WAAAAAGHGHHGHG!!!
WAAAAAGHGHHGHG!!!
MAAAKKKKKKK!!!
... *berlinangan air mata menahankan sakit.
Si suster tadinya bilang kalau katanya seperti digigit semut. Ketika dewasa ini, saya berpikir semut macam apa yang menggigit sesakit itu. Entahlah, mungkin Semut Api atau Semut Hitam Afrika. Dan ketika saya sekarang sedang menempuh studi Ilmu Hukum, seharusnya si suster tadi sudah bisa saya laporkan polisi karena sudah melakukan tindak pidana penipuan karena hal itu.
SD saya waktu dulu juga sekali setahun melakukan imunisasi. Kalau tidak salah hanya untuk yang kelas 1, 2, dan 3. Waktu kelas satu dulu, hampir semuanya ketakutan ketika akan diimunisasi. Dan hanya setengah yang bertemu jarum suntik. Saya dan anak-anak yang lain sukses menghindari tajamnya jarum suntik lewat... nangis ketakutan. Ya, ketika melihat seorang teman yang sok jago maju pertama dan kemudian nangis sejadi-jadinya setelahnya, saya langsung mengambil langkah 3. Mundur, duduk diam di meja, dan pelan-pelan menangis ketakutan. Yang tidak ingin kena, malah juga ikut-ikutan. Ada yang menambahi tangisannya dengan bermain yoyo dengan ingus...
Setelah ditenangkan, sayapun diam dan memperhatikan teman-teman yang sedang imunisasi. Ada yang kesakitan, ada yang meraung, ada yang pasrah, dan saya disini hanya duduk diam melihat mereka dalam derita. Saya iba, tapi kemudian sadar saya gak kena. Makanya itu, saya cuma nyengir melihat mereka...
Rasain, hahaha!
Ketika kelas dua, saya masih tidak mau juga diimunisasi. Dan megnhindari jarum suntik untuk kedua kali dengan menggunakan cara yang sama. Tetap berhasil juga, namun cuman saya yang tidak ikut imunisasi. Setelah selesai, mungkin anak-anak memandang saya dengan dua pandangan yang berbeda. Yang pertama, mendewakan saya karena tidak usah sakit-sakitan karena imunisasi. Yang kedua, memandang saya seperti manusia gua karena tidak imunisasi, sedangkan yang lain iya.
Namun, ketika kelas tiga, semuanya berubah. Bukan, saya tidak berubah, tetap tidak mau imunisasi. Namun, entah kenapa strategi langkah 3 tadi tidak berjalan. Saya tidak bisa mundur dan tidak bisa kembali ke meja. Jadi, yang saya lakukan hanya perlahan menangis ketakutan dibalik guru saya. Beliau menenangkan saya dengan mengatakan dua hal diatas tadi. Yang tentunya masih bohong karena tetap saja ada yang meraung-raung kesakitan. Beberapa saat kemudian, mendadak sunyi. Saya celingukan dan melihat saya sudah didekat kursi-suntik-tidak-mati. Guru saya langsung berkata dengan penuh kelembutan agar saya mau duduk disitu. "Enggak sakit, kok. Kaya' digigit semut kok. Ibu janji deh."
Mendadak, saya melotot. Keringat mulai mengucur. Bulu kuduk mulai naik, dan kemudian...
GAK MAUUUUU!!!!!!
Saya langsung menepis tangan beliau dan lari menuju meja yang paling belakang.
Serius, saya harusnya bisa lari keluar, ini malah kebelakang.
Beliau belum menyerah. Dengan perlahan, dia mendekati saya dan tetap mengatakan dua kebohongan itu seperti mantra untuk mengutuk orangnya Mak Lampir.
Saya juga tidak menyerah, raungan saya kuatkan ditambah dengan tangisan pilu nan dramatis juga ingus yang mulai meler-meler. Saya menoleh kekanan dan kekiri untuk mencari bala bantuan. Tapi, yang ada teman-teman saya cuma nyengir melihat saya...
Gantian, hahaha!
Karena tidak ada pilihan lain dan beliau sudah dekat sekali dengan saya, maka tidak ada pilihan selain menyerah dan merelakan diri didudukkan di kursi-suntik-tidak-mati dengan dipegangi dengan erat oleh guru saya. Sesaat sebelum jarum suntik menusuk. mata saya hampir lompat sangkin melototnya. Keringat sudah banjir dimana-mana. Bulu kuduk belum turun-turun, dan kemudian..
AAAHHH!!!!!
WAAAAAGHGHHGHG!!!
WAAAAAGHGHHGHG!!!
MAAAKKKKKKK!!!
Saya sukses pipis di celana setelah itu...
Dan mulai keesokan harinya, saya jadi badut dikelas sampai lulus SD. Dan tidak tertutup kemungkinan sampai sekarang kalau teman-teman sekelas saya satu kelas terus sampai kuliah....
Sekian saja.
Semoga terhibur. semuanya..
Kalau tidak, sewa badut sana...
#5
Saya tidak ingin bertemu siapa-siapa. Saya cuma ingin bertemu dengan kamu.
#7
Halo, saya yang akan datang. Jadi, yang pertama, apa kabarmu? Kurahap kau baik-baik saja. Kalau tidak, kita sudahi suratnya sampai disini saja. Sampai jumpa.
#5
Saya tidak ingin bertemu siapa-siapa. Saya cuma ingin bertemu dengan kamu.
Sosok yang seharusnya bisa meringankan beban saya saat ini. Dengan senyumannya, dengan tawanya, dengan ide-ide tidak masuk akalnya.
Sosok yang mungkin akan menggenggam tangan ini dengan hangat, kemudian mengatakan 'Tetap semangat!"
Sosok yang sejenak bisa melupakan segala masalah yang ada, walau sementara.
Saya ingin bertemu dengan kamu.
Tapi, saya tak tahu dirimu itu siapa.
Tapi, izinkan saya berharap, kita segera bertemu.
Semoga.
#6
Dari 7 tantangan, tema ini yang agak-agak gimana gitu. Karena, yah, persoalan pantas atau tidak untuk dipilih jadi pasangan hidup itu enggak bisa satu arah. Kalau saya bilang saya seseorang yang baik, bisa jadi seseorang wanita nantinya memandang saya sebagai preman pasar. Entah melihatnya dengan mata kepala sendiri, atau dari sempitnya lubang sedotan.
#6
Dari 7 tantangan, tema ini yang agak-agak gimana gitu. Karena, yah, persoalan pantas atau tidak untuk dipilih jadi pasangan hidup itu enggak bisa satu arah. Kalau saya bilang saya seseorang yang baik, bisa jadi seseorang wanita nantinya memandang saya sebagai preman pasar. Entah melihatnya dengan mata kepala sendiri, atau dari sempitnya lubang sedotan.
Tapi, tantangan tetaplah tantangan. Harus dijawab ketika sudah diterima.
Jadi eh, 3 alasan ya? Untunglah, hanya tiga saja...
Oke, saya mulai.
Pertama, saya bisa mengerjakan hampir semua pekerjaan rumah.
Bersih-bersih, masak (yang sederhana), mencuci, menyetrika, dan yang lain. Saya kira itu absolut menjadi nilai plus. Kalau "kamu" jatuh sakit atau entah apa yang mengakibatkan tak bisa mengerjakan apa-apa, saya bisa mengatasinya. Sudah sering dibuktikan ketika emak saya sedang sakit.
Yang kedua, saya orang yang rajin tapi santai.
Maksudnya begini. Akan selalu ada para calon suami dan ayah yang terlalu giat bekerja banting tulang sampai jatuh terjengkang. Ada juga calon suami dan ayah yang selalu santai bak dipantai yang sedang ditiup angin sepoi-sepoi yang asoy. Dua-duanya sebenarnya kurang baik, karena yang pertama telalu rajin mencari nafkah yang mengakibatkan jarang memperhatikan keluarga (dan juga istri, tentunya, makanya ada lagu "Bang Toyib"), dan yang kedua, masa' istri yang mencari nafkah? Anda laki-laki apa banci lampu merah?
Saya adalah orang yang berada ditengah-tengah rajin dan santai. Saya tahu kapan harus rajin dan ulet sampai tidak memikirkan sesak buang air sangkin tidak sempatnya. Dan saya juga tahu, kapan harus bersantai sejenak dan berinteraksi dengan keluarga (dan juga istri, tentunya) sebelum kepala ini pecah karena beban-beban pekerjaan, hidup, atau apalah.
Yang ketiga, saya sabar (melebihi orang pada umumnya).
Sebenarnya bukan ini yang ketiga. Karena persoalan agama itu yang menilai adalah Yang Maha Kuasa, jadi ini saja, sabar. Saya tidak tahu kenapa, karena dulu sebenarnya saya bukanlah orang yang sabar. Cenderung meledak-ledak. Tapi, semenjak SMA, entah kenapa emosi saya perlahan-lahan menjadi stabil. Dan, semakin stabil ketika beranjak kuliah dan memasuki kepala dua.
Yah, walau dua hari yang lalu baru meledak dan untungnya sebagian kecil saja. Ternyata benar, sabar punya batasan toleransi. Untungnya sabar saya lumayan panjang toleransinya, sampai membutuhkan waktu yang benar-benar lama kalau mau "meledak", dan bukan secara masif. Karena saya lebih suka memendam dan melupakan masalah. Walau terkadang, hal itu bisa kembali tanpa diduga-duga.
Jadi, dengan tiga hal kecil diatas yang sebenarnya masih bisa dijabarkan lebih banyak lagi, sudah bisakah saya datang untuk melamar "kamu" ketika sudah lulus kuliah dan bekerja?
PS : Mudah-mudahan "kamu" itu mirip-mirip dari salah satu dari keempat Heroine Nisekoi. Mirip Kosaki kalau bisa. Kalau enggak, ya gapapa. Yang penting "kamu" mau...
#7
Hahaha, maaf bercanda. Kau tahu kan, hobi kita yang suka bercanda?
Ehem.
Jadi, bagaimana masa depanmu? Bagaimana perkerjaanmu?
Setahun lagi saya tamat, dan sampai sekarang masih bingung menentukan masa depan. Mengikuti jalan yang sudah diberikan ayah atau mencari jalan sendiri. Kuharap kau baik-baik saja entah apapun pekerjaanmu. Entah dibalik sebuah meja kantoran impian dan ditekan atasan atau bekerja santai dirumah sambil memikirkan tema apa untuk buku berikutnya. Apapun itu, bersemangatlah. Jangan suka menyesali pilihanmu sendiri. Karena itu kau yang dulu.
Kemudian, sudahkah kau berkeluarga? Tolonglah, jawabannya harus iya. Iya? Wokeh mantab!
Siapapun itu, pastikan dia bahagia. Dan pastikan dia juga membuatmu bahagia. Kalau sudah punya momongan, mudah-mudahan dia anak yang berbakti. Dan mudah-mudahan yang pertama adalah laki-laki. Semoga keluarga kecil kalian bahagia. Karena itu yang paling penting dalam hidup, bahagia. Walau kau yang sekarang ini tidak bahagia-bahagia amat.
Dan, mungkin yang terakhir. Karena saya selalu bertanya-tanya hanya tiga hal ini tentang masa depan saya. Bagaimana hubunganmu dengan orang sekitar?
Kau tahu kan, selepas SMA dulu kau sangat payah untuk berhubungan dengan orang sekitar. Kau lebih senang menyendiri, bahkan untuk melakukan sesuatu yang harusnya membutuhkan bukan kau seorang. Kuharap kau sudah berubah nantinya di masa depan. Kuharap kau sudah menemukan lagi orang-orang yang bisa kau sangat percayai. Karena hidup itu selalu butuh orang lain. Saya sekarang juga sedang berusaha juga untuk melakukan itu, walau tak tahu harus mulai darimana. Doakan saja berhasil.
Hanya itu saja sih. Mudah-mudahan dan memang harusnya hal-hal positif yang lain tetap ada dalam dirimu di masa depan. Karena saya tahu benar kalau diri sendiri bisa berubah menjadi bajingan dalam waktu hanya 5 sampai 10 tahun mendatang, entah apapun itu alasannya. Saya harap kau tetap menjadi orang baik, sampai malaikat pencabut nyawa sudah berada disampingmu.
Semoga bahagia selalu. Jangan lupa juga untuk selalu bersyukur disetiap sujud.
Sampai jumpa.
Oh, iya. Liverpool sudah berapa kali juara liga ketika masamu? Inggris juga, sudah menang berapa Piala Dunia?
Liga Champions juga sudah berapa? Sudah melewati La Duo Decima Real Madrid? |
Comments
Post a Comment